16 May 2013

Kisah Tunanetra


Kalau mengingat tentang kata "Tunanetra" apa yang biasanya dipikirkan oleh kebanyakan orang di Indonesia? Mungkin sebagian besar akan menjawab...orang cacat, orang yang tidak bisa apa-apa, SLB, peminta-minta, hidup miskin, dan lain sebagainya.

Ironis memang ketika masyarakat Indonesia sendiri masih menganggap bahwa tunanetra itu tidak lepas dari keterpurukan. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa memang seperti itu adanya. Kualitas mental yang masih rendah, membuat sebagian besar tunanetra merasa dirinya lemah dan tidak berguna. Ditambah dengan adanya persyaratan di berbagai perusahaan bahwa pekerja tidak boleh memiliki cacat fisik, walaupun cacatnya berupa kaki yang kurang stabil dalam melangkah sedangkan indra lain masih normal.

   

Dikarenakan mental yang seperti itulah banyak dari mereka yang terlalu merendah diri mendekati batas minder sehingga merasa dirinya tidak memiliki kelebihan dan hal itu juga didukung oleh infrastruktur yang kurang memadai bagi para tunanetra dari pemerintah Indonesia. Akhirnya pekerjaan mereka tidak lepas dari peminta-minta yang mengharapkan belas kasih orang lain yang melihat kenetraan mereka atau bahkan lebih baik mereka di panti saja sehingga tidak menyusahkan keluarganya.


Contohnya saja di Jakarta. Setiap saya datang ke halte busway, di jembatan selalu ada peminta-minta tunanetra. Dan baru akhir-akhir ini saya tau bahwa mereka menggunakannya tidak hanya karena mereka minder tapi juga memanfaatkan belas kasih orang lain dengan menambahkan berbagai aksesoris di tubuh mereka seperti bekas luka yang ditutupi oleh perban dan berdarah. Tidak hanya itu, mereka juga termasuk ke dalam jaringan sindikat pengemis yang diketuai oleh mafia pengemis. Sungguh ironis.

Ketika saya datang ke Taiwan, saya cukup kaget ketika melihat banyak sekali tunanetra yang ada di Taiwan.  Tapi yang membuat saya lebih kaget lagi adalah kualitas hidup mereka dan infrastruktur yang ada untuk mereka.


Hampir di setiap sudut di Taiwan, terutama di Taipei, tidak ada gedung atau lokasi yang tidak memiliki infrastruktur untuk para tunanetra. Ada jalan khusus yang diberikan untuk mereka yang menggunakan kursi roda, ada lift khusus jika mereka ini naik atau turun ke lantai gedung tertentu, di MRT dan bus ada tempat duduk khusus bagi para tunanetra, dan bahkan ada penjaga yang khusus membantu mereka ketika mereka masuk ke MRT.

   
Banyak daripada tunanetra tersebut yang menggunakan kursi roda otomatis yang bisa dikendalikan tanpa susah payah memutar roda nya. Bahkan kursi roda tersebut mereka gunakan untuk berboncengan dengan teman mereka sesama tunanetra.

Malu?
Tidak.

Mereka dengan asik dan santai mengemudikan kursi roda mereka di antara kerumunan manusia yang berlalu lalang. Mereka tidak peduli dilihat orang lain. Karena mereka sadar hidup mereka juga punya arti dan waalaupun mereka cacat, mereka masih memiliki kelebihan.

Banyak hal yang membuatku terkesima dengan mereka. Banyak kejadian yang membuat saya berfikir seperti ini. Seperti ketika saya berjalan-jalan di night market, banyak para tunanetra yang tidak menjadi pengemis...tapi menjadi pedagang. Pedagang apapun itu. Berjualan permen karet, stiker, bahkan lotre. Pekerjaan yang bisa dilakukan oleh siapa saja.

Pernah suatu ketika saya di Taichung bus station dan akan kembali ke Taipei. Selagi menunggu bus yang tak jua datang, ada seorang tunanetra...dia tidak bisa melihat, berbicara, dan mendengar. Dia membawa sebuah nampan berisikan bolpoin dan kue nanas khas taiwan plus tulisan dengan bahasa mandarin yang intinya silahkan mengambil dan jangan lupa membayar seharga 20 NT untuk tiap piece nya.


Ada seorang teman yang merasa kasihan dan membeli sebuah bolpen seharga 20 NT itu tapi memberikan 100 NT kepada si bapak. Kata teman saya "This is for you. It's ok. Meiguanxi" maksudnya tidak usah diberi kembalian, biar uang kembalian itu untuk dia saja. Bayangan saya saat itu adalah pasti diterima uangnya itu. Dan ternyata saya salah. Tanpa dia tau apa yang teman saya katakan, dia merogoh sakunya dan mengeluarkan uang kembalian dan diberikan kepada teman saya itu. Ketika dia berusaha mengembalikannya lagi, si bapak menolak dengan menggelengkan kepalanya.

Sungguh. saya terkesan. dan saat itu saya terdiam.
Subhanallah sekali orang ini.
Dia tidak mau dikasihani oleh orang lain.
Dia mau bekerja dengan usaha nya sendiri karena dia merasa dia bisa.

Saya kembali teringat pada penjaja di Indonesia. Mungkin jika kita memberikan uang tanpa meminta kembalian, mereka akan berterima kasih dan mengambilnya. Berbeda.

Kapan kah masyarakat Indonesia memiliki kualitas hidup yang minimal sama dengan masyarakat Taiwan? yang bangga dengan apa yang mereka miliki... yang tidak malu dengan pekerjaan mereka... dan tidak ingin dikasihani oleh orang lain...serta bekerja keras dengan kemampuan yang dimiliki...
Kapan kah pemerintah membangun berbagai infrastruktur yang memadai bagi masyarakatnya terutama bagi yang tunanetra? sehingga mereka tidak akan merasa minder atau rendah diri....

Kita tunggu tanggal mainnya...


Intan Web Developer

A Wife and PhD candidate to-be in National Taiwan University of Science and Technology. Dreamer, Writer, Traveller, and Tech Addict. Like to travel everywhere and experience anything.

No comments:

Post a Comment

Anda bisa memasukkan komentar tentang postingan di sini...Terima Kasih ^.^