26 October 2016

Apakah Aku Harus Selalu Menutup Mata?


Aku tidak pernah sekalipun membayangkan akan terjebak dalam situasi dan kondisi yang membuatku harus (atau kah tidak harus?) menutup mata. Dalam kata lain, pura-pura tidak tahu terhadap kondisi yang salah dan bertolak belakang dengan hati nurani.

Agak susah menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi, karena khawatir kalau yang bersangkutan membaca artikel ini, bisa bahaya juga. haha Jadi, aku akan menggunakan analogi untuk cerita kali ini.

Let's say... aku berada di dalam sebuah institusi, dimana aku bekerja sebagai bawahan yang paling bawah tapi masih di atas nya OB. hehe Tugas ku melakukan apapun yang diminta oleh orang-orang yang memiliki jabatan di atasku, tidak hanya bos besar.

Karena aku tipe orang yang "nurutan" dengan apa yang diminta, as long as itu masih di dalam batas atau lingkup tugasku, aku akan melakukannya dengan senang hati. Walaupun terkadang, ada ucapan pedas yang keluar dari mulut orang-orang yang tidak puas dengan hasil kerjaku, aku akan menganggapnya sebagai kritik untuk membuatku lebih baik lagi. Sakit hati mungkin iya, tapi hanya sebentar. Setelah dibuat shalat dan makan, sakit hati nya hilang. hahaha

Tapi, yang membuatku agak terganggu adalah ketika terjadi tindak korupsi di dalamnya.

Korupsi ada banyak macam nya, ada yang kecil ada pula yang besar. Biasanya yang besar ini yang bisa sampai ketahuan KPK dan ditangkap, lalu masuk TV dan koran. Tapi untuk kali ini, aku tidak tahu sudah sampai skala besar atau tidak, karena aku sih siaapaa bisa tahu sampai segitunya. Hanya saja, aku mengalami korupsi skala kecil yang terjadi padaku.

Ini baru pertama kali nya terjadi padaku dan sangat membuatku terganggu. Secara selama hidupku ini aku tidak pernah berada di dalam sebuah institusi atau organisasi yang kotor. Semuanya bersih dan jika pun ada yang melakukan tindakan berbahaya ini, Alhamdulillah aku tidak pernah tahu.

Yang terjadi adalah ketika gaji bulanan ku di mark-up.

Mungkin ada yang berpikir... "eh, enak donk di mark-up...gaji mu dapetnya lebih besar..."
Sayangnya Anda salah. Gajiku tetap, tapi diperbesar jumlahnya dan aku diminta tanda tangan di kwitansi nya. Jadi, misalnya aku dapat gaji Rp 1.000.000 tapi angka ini diperbesar menjadi 2x lipatnya yaitu Rp 2.000.000. Sedangkan aku benar hanya dapat gaji normalku. Aneh? Jelas. Dimana kah uangnya? Aku tidak tahu.

Kenapa bisa di mark-up? Karena aku dibayar per jam, bukan bulanan. Jadi, laporan yang kubuat tiap bulan untuk diberikan ke atasan, diubah range jam nya. Jadi, misalnya aku kerja dari jam 9 pagi hingga jam 6 sore, diubah dari jam 9 pagi hingga 9 malam, tiap hari. Wajar tidak? Jelas tidak. Siapa sih yang bisa 12 jam di kantor setiap hari? No one. Bisa sakit kalau tiap hari kerja kayak gitu. Dipikir secara logika saja tidak bisa kok.

Jadi, laporan asli yang kubuat tiap bulan, hanya diarsipkan di dalam departemen saja. Sedangkan laporan hasil mark-up diberikan ke institusi.

Ada beberapa pertanyaan yang mengganjal...

1. Yang menyetujui laporan ini tidak sadar kalau nominal dan jumlah kerja nya tidak wajar atau bagaimana?

Harusnya sih sadar. Mungkin ada something di orang yang setuju ini kan sehingga mau menerima laporan fake dan mengeluarkan dana nya. (Tanda tangannya ada 2 di dalam satu laporan, yaitu aku dan atasan, lalu disetujui orang pusat)

2. Apakah ini beneran korupsi atau kah hanya dinaikkan untuk menambah biaya operasional institusi yang dirasa kurang dan mengalami defisit setiap tahun?

Sudah ditanyakan ke atasan kenapa harus di mark-up, dan hasilnya malah disemprot habis-habisan dengan alasan yang tidak masuk akal.

Kalau dipikir-pikir... hello... emangnya kami ini bodoh dan tidak bisa berpikir ada apa di balik ini semua? Buat apa kami sekolah jauh-jauh ke luar negeri dan tidak bisa memahami kondisi di dalam institusi ini?

Hhhh...

Ketika aku harus memberikan tanda tangan di laporan fake itu, rasanya gemetaran. Nominalnya luar biasa besar dan melebihi jumlah biaya semesteran PhD ku di Taiwan. Aku harus berhenti dari segala kegiatan dan terdiam dengan tangan di atas kertas.

Teman-teman ku yang bernasib sama juga bingung harus bagaimana.

Hati ini tidak kuasa menerima segala hal seperti ini, bahkan hingga terlihat dari tanganku yang bergetar seperti orang terkena serangan tremor.

Lalu, salah seorang temanku yang anak pondok, ngaji tiap kamis malam bersama teman-teman kampus, dan sangat mengerti tentang aku berkata... "udah, tanda tangan aja ndak apa. yang penting kamu nggak makan uangnya."

Ok then... aku tanda tangan.

Malamnya, aku telepon orang tua dan menceritakan semua hal yang terjadi.

Bapakku berkata bahwa begitulah institusi. Mau dimanapun sama. Hal yang sama akan terjadi lagi kalau aku nantinya bekerja di institusi lain yang tidak bersih. Itu namanya budaya tidak baik yang mengakar.

Intinya adalah...tutup mata. Karena tidak ada yang bisa dilakukan oleh diriku yang kacung kampret di kantor dan tidak bisa merubah keadaan. I am no body there.

Yang penting, aku tidak makan uang korupsi itu. Aku menerima apa yang menjadi hak ku, tidak lebih daripada itu.

Tapi... apakah aku bisa terus seperti ini?

Sepertinya tidak.
Aku tidak bisa menutup mata dari kerjadian seperti ini.
Aku tidak bisa membohongi hati nurani ku sendiri.
Aku takut dosa.

Orang yang melakukan tindakan ini akan pergi dari institusi dalam kurun waktu satu minggu dan diganti dengan orang yang baru. Semoga orang baru ini orangnya beragama, bersih, dan disiplin. Semoga aku tidak perlu keluar dari institusi ini.

Namun, jika hal ini terjadi lagi... aku akan pergi.

Intan Web Developer

A Wife and PhD candidate to-be in National Taiwan University of Science and Technology. Dreamer, Writer, Traveller, and Tech Addict. Like to travel everywhere and experience anything.

No comments:

Post a Comment

Anda bisa memasukkan komentar tentang postingan di sini...Terima Kasih ^.^