Menjadi seorang anak pertama di sebuah keluarga yang sederhana dan punya banyak saudara, adalah challenge tersendiri buatku. Apalagi jarak antar saudara cukup jauh. Bagaimana tidak, kami 4 bersaudara. Tahun ini aku berumur 25 tahun, adikku Irfa berumur 21 tahun, adikku Ridha berumur 12 tahun, dan yang terakhir Denny berumur 8 tahun. Jarak yang cukup jauh kan? Sehingga sejak kecil, sudah terlatih untuk "sadar diri" dan harus bisa menjadi panutan buat adik-adik. Di sisi lain, aku yang tau dan mengalami benar bagaimana kehidupan orang tua ku sejak aku masih kecil hingga sekarang. Nanti aku akan menceritakannya bagaimana kehidupan kami.
Sebelum aku menulis sedikit tentang kehidupanku, sempat terpikir kenapa aku mau share kehidupan pribadi ku? Apa worthed untuk di-share? tapi ada satu hal penting yang aku ingin sampaikan tentang keluargaku, yaitu Bersyukur. Sebuah kata ajaib yang bisa menyelesaikan banyak permasalahan kami sebagai individu ataupun keluarga.
Banyak orang berpikir bahwa kami termasuk keluarga kaya yang bisa membeli apapun yang kami inginkan dan orang tua ku bisa menyekolahkan ku hingga ke luar negeri. Banyak yang beranggapan aku keren karena bisa sekolah sampai S3 dan pintar. Bisa kujawab sekarang, bahwa anggapan-anggapan itu kurang benar. Let me tell you why and how.
Ibu ku adalah seorang dokter. Iya dokter. Pekerjaan yang dianggap wah dan menghasilkan banyak uang. Tapi, itu salah. Ibuku bukan dokter spesialis, tapi dokter umum. Menjadi dokter sejak tahun 1989 dan baru diangkat menjadi PNS sejak tahun 2010 (kalau tidak salah tahun 2010 dan diangkat karena SK Bupati untuk mengangkat karyawan dengan masa bakti lama, pernah ikut tes CPNS berkali-kali tapi tidak pernah lolos, as you know why). Rentang waktu yang cukup lama dan masa itu adalah masa prihatin bagi keluarga kami karena gaji dokter umum non PNS bisa dikatakan kurang. Ibuku dari keluarga yang kurang mampu, tinggal di sebuah desa di kaki Gunung Kawi. Kakekku seorang veteran perang dan petani, nenekku adalah guru SD di desa. Mungkin karena nenekku termasuk katagori Super Grandma , beliau punya ambisi yang kuat supaya anak-anaknya bisa menikmati jenjang perguruan tinggi. Tapi, dari awal sudah dikatakan bahwa nenek kakekku tidak bisa membiayai kuliah anak-anaknya karena biaya kuliah yang cukup mahal. Mau tak mau anak-anaknya ini yang berusaha sedemikian hingga bagaimana caranya supaya diterima UMPTN (sekarang SNMPTN) dan kalau bisa mendapatkan beasiswa. Alhamdulillah dengan perjuangan yang sangat keras ibuku dan kedua kakaknya bisa menjadi sarjana. Pakpoh ku lulusan Kedokteran Hewan Unair, Bunda (budhe) ku lulusan Ekonomi UGM, dan Ibuku lulusan Kedokteran (manusia) Unibraw. Karena perjuangan yang super keras ini lah yang mungkin menjadi dasar mereka untuk memiliki mimpi supaya anak-anaknya kelak bisa lebih daripada orang tua nya atau paling tidak sama. Tidak hanya aku yang beranggapan demikian, tapi juga adik-adik dan sepupu-sepupu ku, sehingga kami secara tidak sadar "berlomba" untuk menunjukkan siapa yang terbaik di antara para cucu. hehe
Bapak ku adalah seorang wirausahawan atau bahasa kerennya entrepreneur. Memang sejak kecil sudah ada darah pedagang di keluarganya. Kakek nenek ku memiliki berbagai jenis usaha mulai dari bisnis kain di pasar, apotek, taksi, yayasan pendidikan, dsb. Ibuku pernah bercerita bahwa Bapak ku memang berasal dari keluarga yang cukup berada. Tapi, itu bukan karena sebab. Darah pedagang adalah darah pekerja keras. Tidak akan berhenti sampai sukses bahkan jika kondisi perekonomian sedang hancur-hancurnya. Terbukti pada suatu masa ketika semua usaha itu habis. Hidup hingga kurang berkecukupan. Tapi tidak membuat mereka terlindas waktu. Bekerja keras untuk meraih mimpi apapun yang terjadi menjadi moto keluarga Bapak.
Kalau orang beranggapan ketika orang tua ku menikah mereka sudah bisa membeli rumah dan hidup enak, semua itu salah. Aku masih ingat betul ketika aku masih kecil, orang tua ku masih mengontrak rumah dan pindah dari satu kota ke kota lainnya. Orang tua ku juga belum punya usaha sendiri dan ibuku masih jadi pegawai honorer. Sedangkan mereka harus memenuhi kebutuhan 2 orang anak yang masih kecil-kecil sehingga harus bekerja ekstra keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah. Akhirnya ibuku membuka praktek dokter sendiri di daerah pasar. Tapi, yang namanya ibuku, seorang yang sangat jujur dan rendah hati, kalau ada pasien tidak bisa membayar ya tidak apa. Tujuan utama menjadi dokter bukan demi uang (walaupun butuh juga) tapi supaya pasien bisa sembuh dari semua penyakitnya. Tetapi, walaupun hidup cukup (paling tidak kami bisa makan sehari 3x dan masih bisa sekolah), kami tetap bersyukur dengan apa yang Allah berikan.
Aku seorang anak yang bisa dibilang agak berbeda di keluargaku. Aku tidak bisa matematika, aku nakal, dan gampang sakit. Sejak kecil ada saja penyakitku. Mulai dari memakai kacamata sejak TK, gigi harus diberi kawat sejak SD kelas 1, usus buntu, dan lain sebagainya. Aku juga tidak pintar dan tidak secerdas adikku yang tanpa belajar dia sudah pintar dengan sendirinya. Aku tidak sejenius sepupuku yang sejak di bangku SD sudah bisa bicara bahasa inggris dengan lancar. Aku tidak sekeren sepupu ku yang lain yang ikut berbagai lomba tingkat nasional bahkan dunia.
Tapi, satu hal yang aku tau aku bisa lakukan. Kalau ada niat pasti bisa. Kalau aku tekun dan berusaha, aku pasti bisa. Aku harus membuktikan pada dunia (at least ke nenekku dan orang tua ku) bahwa aku bisa membanggakan, bukan hanya membuat repot orang tua saja dengan segala kenakalan dan penyakit yang aku derita (walaupun bukan penyakit kronis).
Ada lelucon yang dibuat aku dan adikku tentang piala. Di rumahku tidak ada piala sama sekali. Juara makan krupuk saja tidak pernah menang. Bagaimana juara yang lain? hahaha Tapi itu hanya sekadar lelucon di antara kami. Kami selalu berusaha yang terbaik sejak di bangku SD. Ikut kejuaraan apapun, tidak menang tidak masalah, yang penitng sudah mencoba. Yang penting pengalaman.
Karena aku anak pertama, sejak SD aku sudah menjadi panutan adik-adik. Tidak heran, orang tua ku menyekolahkan adik-adik ku di sekolah yang sama denganku sejak SD, SMP, sampai SMA. Karena memang kebetulan aku bisa diterima di sekolah favorit di kotaku, walaupun masuk di bangku cadangan kala itu (seperti yang aku bilang aku tidak begitu pintar). Aku sering merasa minder sebenarnya. Karena aku merasa "berbeda" dibandingkan sepupu ku yang lain.
Tapi, pemikiran itu berubah seiring diriku yang semakin dewasa. Terutama ketika aku menginjak bangku kuliah. Ibuku ingin aku menjadi dokter (tapi harus masuk SNMPTN karena tidak bisa membiayai masuk fakultas kedokteran dengan biaya sangat mahal apalagi banyak orang tua lain yang berani "bayar mahal" demi supaya anak mereka masuk fakultas kedokteran). Sedangkan Bapakku ingin aku menjadi ekonom walaupun beliau sadar di SMA aku masuk jurusan IPA, bukan IPS. Tapi, semua itu pupus ketika mereka ingat pesan Almarhum Kakek dari Bapak sebelum meninggal. Beliau sempat berpesan sebelum meninggal kalau ingin punya cucu (at least satu orang) yang bisa berbicara bahasa inggris dan komputer. Maklum, kakekku seorang yang visioner dan cenderung berpikiran maju. Beliau sadar pada zamanku nanti akan dibutuhkan seorang yang berkemampuan bahasa inggris dan komputer. Akhirnya sejak SD aku sudah di les kan bahasa inggris di dekat rumah. Komputer juga ada karena memang orang tua ku butuh, walaupun pada akhirnya aku yang menggunakan. haha Disitulah muncul ketertarikan lebih terhadap komputer, walaupun awalnya hanya tau Microsoft Office dan games. Aku sama sekali tidak tahu tentang dunia programming kala itu.
Mungkin karena doa kakekku, orang tua ku mau mencoba mendaftarkan aku kuliah di beberapa kampus negeri dan swasta di Jawa. Ada yang berpikir aku masuk ITS dengan jalur SNMPTN, mereka salah. Aku masuk lewat jalur PMDK Mandiri (benar sakali ini jalur yang berbayar). Kala itu ITS tidak membedakan biaya untuk jalur PMDK Mandiri, semua rata. Tidak ada lomba siapa yang bisa membayar dengan harga mahal, dia yang menang. Orang tua ku memang kurang mampu membiayai aku kuliah dengan jalur itu, tapi mereka punya alasan. Didasari dari trauma nya ibuku karena pernah tidak lolos UMPTN dan menganggur setahun lamanya, dan ada sedikit ketidakpercayaan padaku bahwa aku bisa lolos. Maklum, aku lemah di matematika. haha Alasan lainnya adalah aku anak pertama dan orang tua ku ingin aku masuk ke kampus terbaik di bidangnya. Sebenarnya aku diterima di STT Telkom Bandung lewat jalur beasiswa SMA. Tapi, Bapakku tidak ridho karena aku anak pertama perempuan dan Bandung terlalu jauh. Aku sadar sebenarnya perjuangan orang tua ku kala itu supaya aku bisa kuliah. Itulah titik dimana pemikiranku berubah.
Aku memang lemah di matematika. Aku memang tidak terlalu pintar. Tapi, aku harus tekun belajar. Aku harus bisa membanggakan orang tua ku dengan segala kemampuan yang kupunya. Aku mulai belajar ke teman SMA yang tahu apa itu programming, membeli berbagai buku untuk dipelajari (bahkan buku yang harusnya belum aku pelajari kala itu sudah kubaca), berkutat dengan laptop dan segala tetek bengek informatika, dan satu hal yang pasti adalah aku memang masuk lewat jalur PMDK Mandiri ITS, tapi bukan berarti aku tidak berprestasi dan tidak bisa menunjukkan bahwa aku bisa kan? Aku harus bisa membuktikan bahwa itu hanyalah sekedar jalur masuk dan pembuktian utama seseorang bahwa dia bisa atau tidak di jurusan itu adalah ketika ia berada di sana selama masa perkuliahan.
Setahun pertama kuliah, kurasakan sangat tidak mudah. Masa menjadi mahasiswa memang berbeda, tidak seperti S1. Apalagi di ITS, yang menuntut mahasiswa nya untuk mengikuti program OSPEK hampir setahun lamanya untuk mendidik mahasiswa supaya bisa catch up dengan kehidupan kampus teknik yang cukup keras dan meningkatkan jiwa organisator. Banyak mata kuliah yang aku lemah di sana, seperti kalkulus dan fisika dasar. Percaya atau tidak, di transkrip aku punya 2 Nilai D untuk mata kuliah Kalkulus 1 dan Kalkulus 2. haha Aku tidak malu karena aku memang lemah di sana dan orang tua ku hanya tertawa karena mereka tau walaupun aku sudah ikut les sempoa, belajar giat setiap hari, dsb aku tetap tidak akan bisa. Semester 1 adalah masa paling buruk saat itu karena aku bersyukur bisa mendapatkan IP di bawah 3.0. Iya, benar. Bersyukur. Karena paling tidak IP ku tidak di bawah 2.0. haha Semester 2 adalah titik perubahan di masa perkuliahan ku.
Aku menjadi pribadi yang "kutu buku". Aku siap jika dosen menyuruhku membaca satu buku, dimana teman-teman tidak mau membacanya. Aku siap jika harus mengeluarkan uang untuk "foto kopi" buku yang harganya jutaan (maklum kantong mahasiswa adalah kantong yang sekarat haha). Aku tidak terpuruk dengan kegagalan karena aku yakin bahwa "Kegagalan adalah Kunci Kesuksesan" dan aku bisa membuktikannya.
IP ku semakin meningkat dari semester satu ke semester yang lainnya. Walaupun pernah mengalami penurunan, tapi tidak membuatku sedih. Aku tetap mencari sesuatu yang membuatku bersyukur selalu atas nikmat Allah yang berikan kepadaku seperti misalnya aku mendapatkan kesempatan mengenal kawan-kawan yng luar biasa dan bersama mencapai mimi menjadi juara di beberapa lomba tingkat nasional (walaupun tetap kami tidak diberi piala untuk dibawa pulang ke rumah haha). Sampai di semester 7, aku memutuskan untuk mengambil Tugas Akhir (atau skripsi). Tujuan utama ku bukan supaya lulus cepat tapi supaya kalau tidak selesai bisa dilanjutkan di semester 8. Tapi Alhamdulillah dosen pembimbingku yang menanyakan apa aku siap jika sidang di semester 7, dan aku berkata siap. Februari 2012 aku resmi lulus dari Teknik Informatika ITS Surabaya. Syukur yang tak terkira kepada Allah.
Aku punya banyak cita-cita dan mimpi. Salah satu nya adalah menjadi dosen. Untuk menjadi seorang dosen, paling tidak minimal aku punya gelar sampai S2. Aku tidak mau sekolah S2 di indonesia, aku inginnya di luar negeri. Bukan karena di Indonesia lebih jelek, tidak. Justru di Indonesia banyak universitas yang lebih bagus dan kualitasnya tidak kalah. Hanya saja aku ingin melihat dunia di luar sana. Aku ingin tau bagaimana rasanya hidup di negeri orang sendirian tanpa orang tua dan bagaimana mereka hidup sehari-harinya. Istilahnya sih out of my comfort zone. Tapi, apa mungkin? Apa bisa? Untuk tahu bisa atau tidak harus mencoba kan? Mulai semester 6 masa perkuliahan di ITS, aku mencoba mencari tahu cara untuk kuliah di luar negeri. Ikut seminar, mencari informasi di mading kampus, mencari di internet, dan lain sebagainya. Akhirnya aku memutuskan untuk mendafatr di beberapa universitas di Taiwan, Korea, dan India. Alhamdulillah proses tidak rumit untuk Taiwan dan Korea karena ITS memiliki university alliance dengan kampus di dua negara tersebut sehingga aku cukup datang untuk interview dengan professor dari Taiwan (NTUST) dan Korea (NPUST). Namun, untuk India, aku diberi informasi oleh ibuku yang membaca iklan beasiswa di koran Jawa Pos kala itu. Ibuku menelepon dan memintaku untuk mencoba. Karena tidak bisa dipungkiri India adalah top leading country yang bagus di bidang IT. Proses nya luar biasa rumit dan menguras banyak energi. Mulai dari pengumpulan dokumen yang luar biasa banyak, tes tulis dengan bahasa inggris, dan wawancara langsung dengan orang India. Aku masih ingat ketika lolos tahap wawancara, si bapak India bertanya "Why do you think Einstein loves apple?" aku tidak bisa menjawab tentu saja. Siapa sih yang tau alasan seseorang suka apel kalau tidak dirinya sendiri dan Allah ? haha Ternyata jawabannya adalah "Yes of course he likes it. He found gravity theory when suddenly apple fallen off from a tree above him" Aku cuma bisa tertawa dan berharap itu bukan pertanyaan sungguhan.
Karena "kebetulan" aku bisa lulus 3,5 tahun, pertanyaan selanjutnya adalah kapan pengumuman S2? Kemungkinan besar sekitar bulan Juni / Juli. Padahal saat itu masih bulan Februari. Bagaimana jika aku tidak diterima? Besar kemungkinan aku tidak diterima di semua universitas yang aku daftar bukan? Akhirnya aku memutuskan untuk menjadi job hunter dan di saat yang sama mendaftar S2 di ITB dan UI. Proses pendaftaran di kampus terbaik di Indonesia ini cukup rumit. Aku harus ikut tes TOEFL di ITB (tidak bisa di luar ITB) dan tes TPA (tes nya di Malang dan Bapakku mengantarku selepas subuh padahal sorenya aku ada tes ITP TOEFL di Unair, Alhamdulillah kedua nya terkejar walaupun butuh banyak pengorbanan pikiran dan tenaga haha). Untuk UI aku harus ikut tes SIMAK di UI, dimana aku merasa impossible bisa diterima S2 UI, kebetulan tes nya bulan April. Mencari kerja juga tidak gampang. Semua lowongan kerja di Job Fair yang diadakan oleh ITS, tidak ada yang menerimaku, satupun tidak ada. Bulan-bulan itu adalah bulan frustasi untukku. Aku lulus dengan predikat memuaskan dan 3,5 tahun tapi aku pengangguran. Pengumuman S2 belum muncul dan tidak ada perusahaan yang memanggilku untuk sekedar wawancara. Aku sadar, lulus cepat dan IP bagus bukan segalanya.
Setelah menunggu dan menunggu... Alhamdulillah panggilan itu datang dari 2 perusahaan besar di Indonesia. Karena tidak tahu mana yang akan menerima ku hingga tahap akhir, aku jalani semuanya degan rasa syukur dan harapan. Tak disangka, keduanya menerima ku di hari yang sama. Hanya saja, karena perusahaan kedua menelepon belakangan, aku tidak bisa mengingkari kata bersedia bekerja di perusahaan pertama. Awalnya aku merasa agak sedikit menyesal karena perusahaan kedua lebih besar, tapi semuanya terpatahkan ketika aku menyadari ada hikmah di balik itu semua. Aku bekerja di Jakarta dan bisa mengenal teman-teman yang luar biasa di perusahaan ini. Aku juga mendapatkan seorang atasan yang sangat baik dan mendukungku untuk menjadi pribadi yang maju.
Walaupun aku sudah bekerja, mimpiku tidak pupus. Aku tetap menunggu pengumuman S2 dan aku jujur kepada atasanku bahwa jika aku diterima S2, aku akan keluar dari pekerjaan atau bekerja sambil kuliah di Jakarta jika diterima di UI. Tiga bulan sudah aku menunggu, dan pengumuman itu datang. Syukur Alhamdulillah yang luar biasa besar kupersembahkan kepada Allah karena aku mendapatkan kesempatan diterima di NTUST Taiwan, India, UI, dan ITB. Kegundahan terbesar kedua adalah kampus mana yang mau kupilih. India dicoret karena Bapakku tidak mau aku bertemu monyet di tengah jalan (akibat melihat documentary tentang India di Discovery Channel haha). ITB dicoret karena UI diterima dan aku bisa kuliah sambil bekerja, terlebih kampus nya bukan di Depok tapi di Jakarta Selatan yang notabene dekat dengan lokasi kantor. NTUST Taiwan memberikanku beasiswa penuh dan uang bulanan, aku hanya perlu membayar uang sewa dorm dan asuransi kesehatan tiap semester. Jadi, pilihannya cuma dua Taiwan atau UI. Kembali ke keinginan utama, aku ingin kuliah di luar negeri. Resikonya aku harus keluar dari pekerjaanku yang masih seumur jagung ini dan keluar dari comfort zone ku, dan atas izin Allah aku memilih Taiwan.
Aku pergi dari Indonesia tanggal 9 September 2012 malam bersama beberapa orang kawan yang juga diterima di Taiwan menaiki pesawat Garuda Indonesia. Kehidupan ku di negeri orang dimulai. Tapi inilah tes sesungguhnya. Tes terhadap kemampuanku hidup sendiri di negeri orang tanpa orang tua dan saudara. Tes apakah aku mampu lulus S2 dengan baik. Tes siapakah teman baikku. Tes tentang kehidupan.
Aku belajar banyak di Taiwan. Tidak hanya tentang akademis, tapi juga kehidupan. Banyak yang bisa didapatkan di Taiwan dan tidak kudapatkan di Indonesia. Budaya yang berbeda membuatku sadar bahwa aku sungguh kecil. Aku bukan apa-apa di dunia ini dan inilah saatnya aku harus bisa berkarya dan menyampaikan pesan kehidupan yang aku dapatkan selama di Taiwan kepada semua orang di Indonesia (at least yang aku kenal seperti keluarga dan saudara).
Belajar bagaimana hidup disiplin dan tepat waktu. Hidup menghargai orang lain dan menaati peraturan. Tak hanya itu, aku juga belajar bagaimana berdakwah di negeri orang dengan kemampuan yang aku bisa lakukan bersama teman-teman Muslim seperjuangan. Pengalaman yang luar biasa indah. Di samping itu, di Taiwan pula aku bertemu seorang senior yang saat ini bisa menjadi suamiku.
Saat ini, aku menjalankan kuliah S3 di kampus yang sama di Taiwan. Ingin sebenarnya bisa meneruskan jenjang S3 ke negara lain, tapi karena suamiku bekerja di Taiwan pasca lulus S2, kami harus tetap di sini. Sempat ada rasa sedih. Tapi, aku tetap bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk bisa di luar negeri dan mendapatkan jenjang S3 berbeasiswa serta diberi pekerjaan oleh Allah dan hidup cukup. Aku yakin ada hikmah di balik ini semua, seperti sebelumnya.
Hidup adalah pilihan dan hidup adalah Bersyukur. Bagaimana kita bisa bersyukur atas karunia dan nikmat Allah yang diberikan kepada kita, terlepas dari semua kesedihan yang dirasakan.
Hidup itu ada naik dan turun. Ketika sedang naik dan di puncak, bagaimana caranya untuk bersyukur dan mengingat masih ada orang di bawah kita dan kita harus tetap rendah diri dan membantu orang lain. Ketika sedang turun, bukan untuk bersedih dan menyalahkan keadaan tapi tetap bersyukur bahwa masih diberi kesempatan hidup dan makan, serta bagaimana caranya menjadi lebih baik.
Dari runtutan kehidupan dan masa lalu ku hingga saat ini, bisa dikatakan tidak mudah. Ada banyak halangan dan rintangan untuk mencapai mimpi yang aku dan keluarga ku idam-idam kan. Ada banyak tangis dan kesedihan. Tapi, kami memiliki lebih banyak hal baik yang bisa disyukuri. Kami masih bersama, kami masih bisa hidup cukup, kami bisa sekolah, kami bisa tertawa, dan kami memiliki Allah, yang akan selalu membantu kami. Allah memberi ujian bukan karena tidak sayang, tapi justru sayang kepada kita dan ingin membuat kita menjadi pribadi yang kuat dan mau bersyukur atas segala karuniaNya.
Ibu Bapakku selalu mengajarkan satu hal penting, yaitu berucap Alhamdulillah dan Astaghfirullah dimanapun dan kapanpun. Dengan dua kalimat yang luar biasa ini, kami sekeluarga belajar untuk bersyukur dan memohon ampun kepada Allah, sehingga Allah memberi kami kehidupan yang cukup dan bermakna.
Semoga sedikit cerita tentang kehidupan pribadi ku ini, ada hikmah yang bisa didapatkan untuk kita semua.
Alhamdulillahirabbilalamin.
Astaghfirullahaladzim.
Jazakallahu Khairan.
Setahun pertama kuliah, kurasakan sangat tidak mudah. Masa menjadi mahasiswa memang berbeda, tidak seperti S1. Apalagi di ITS, yang menuntut mahasiswa nya untuk mengikuti program OSPEK hampir setahun lamanya untuk mendidik mahasiswa supaya bisa catch up dengan kehidupan kampus teknik yang cukup keras dan meningkatkan jiwa organisator. Banyak mata kuliah yang aku lemah di sana, seperti kalkulus dan fisika dasar. Percaya atau tidak, di transkrip aku punya 2 Nilai D untuk mata kuliah Kalkulus 1 dan Kalkulus 2. haha Aku tidak malu karena aku memang lemah di sana dan orang tua ku hanya tertawa karena mereka tau walaupun aku sudah ikut les sempoa, belajar giat setiap hari, dsb aku tetap tidak akan bisa. Semester 1 adalah masa paling buruk saat itu karena aku bersyukur bisa mendapatkan IP di bawah 3.0. Iya, benar. Bersyukur. Karena paling tidak IP ku tidak di bawah 2.0. haha Semester 2 adalah titik perubahan di masa perkuliahan ku.
Aku menjadi pribadi yang "kutu buku". Aku siap jika dosen menyuruhku membaca satu buku, dimana teman-teman tidak mau membacanya. Aku siap jika harus mengeluarkan uang untuk "foto kopi" buku yang harganya jutaan (maklum kantong mahasiswa adalah kantong yang sekarat haha). Aku tidak terpuruk dengan kegagalan karena aku yakin bahwa "Kegagalan adalah Kunci Kesuksesan" dan aku bisa membuktikannya.
IP ku semakin meningkat dari semester satu ke semester yang lainnya. Walaupun pernah mengalami penurunan, tapi tidak membuatku sedih. Aku tetap mencari sesuatu yang membuatku bersyukur selalu atas nikmat Allah yang berikan kepadaku seperti misalnya aku mendapatkan kesempatan mengenal kawan-kawan yng luar biasa dan bersama mencapai mimi menjadi juara di beberapa lomba tingkat nasional (walaupun tetap kami tidak diberi piala untuk dibawa pulang ke rumah haha). Sampai di semester 7, aku memutuskan untuk mengambil Tugas Akhir (atau skripsi). Tujuan utama ku bukan supaya lulus cepat tapi supaya kalau tidak selesai bisa dilanjutkan di semester 8. Tapi Alhamdulillah dosen pembimbingku yang menanyakan apa aku siap jika sidang di semester 7, dan aku berkata siap. Februari 2012 aku resmi lulus dari Teknik Informatika ITS Surabaya. Syukur yang tak terkira kepada Allah.
Aku punya banyak cita-cita dan mimpi. Salah satu nya adalah menjadi dosen. Untuk menjadi seorang dosen, paling tidak minimal aku punya gelar sampai S2. Aku tidak mau sekolah S2 di indonesia, aku inginnya di luar negeri. Bukan karena di Indonesia lebih jelek, tidak. Justru di Indonesia banyak universitas yang lebih bagus dan kualitasnya tidak kalah. Hanya saja aku ingin melihat dunia di luar sana. Aku ingin tau bagaimana rasanya hidup di negeri orang sendirian tanpa orang tua dan bagaimana mereka hidup sehari-harinya. Istilahnya sih out of my comfort zone. Tapi, apa mungkin? Apa bisa? Untuk tahu bisa atau tidak harus mencoba kan? Mulai semester 6 masa perkuliahan di ITS, aku mencoba mencari tahu cara untuk kuliah di luar negeri. Ikut seminar, mencari informasi di mading kampus, mencari di internet, dan lain sebagainya. Akhirnya aku memutuskan untuk mendafatr di beberapa universitas di Taiwan, Korea, dan India. Alhamdulillah proses tidak rumit untuk Taiwan dan Korea karena ITS memiliki university alliance dengan kampus di dua negara tersebut sehingga aku cukup datang untuk interview dengan professor dari Taiwan (NTUST) dan Korea (NPUST). Namun, untuk India, aku diberi informasi oleh ibuku yang membaca iklan beasiswa di koran Jawa Pos kala itu. Ibuku menelepon dan memintaku untuk mencoba. Karena tidak bisa dipungkiri India adalah top leading country yang bagus di bidang IT. Proses nya luar biasa rumit dan menguras banyak energi. Mulai dari pengumpulan dokumen yang luar biasa banyak, tes tulis dengan bahasa inggris, dan wawancara langsung dengan orang India. Aku masih ingat ketika lolos tahap wawancara, si bapak India bertanya "Why do you think Einstein loves apple?" aku tidak bisa menjawab tentu saja. Siapa sih yang tau alasan seseorang suka apel kalau tidak dirinya sendiri dan Allah ? haha Ternyata jawabannya adalah "Yes of course he likes it. He found gravity theory when suddenly apple fallen off from a tree above him" Aku cuma bisa tertawa dan berharap itu bukan pertanyaan sungguhan.
Karena "kebetulan" aku bisa lulus 3,5 tahun, pertanyaan selanjutnya adalah kapan pengumuman S2? Kemungkinan besar sekitar bulan Juni / Juli. Padahal saat itu masih bulan Februari. Bagaimana jika aku tidak diterima? Besar kemungkinan aku tidak diterima di semua universitas yang aku daftar bukan? Akhirnya aku memutuskan untuk menjadi job hunter dan di saat yang sama mendaftar S2 di ITB dan UI. Proses pendaftaran di kampus terbaik di Indonesia ini cukup rumit. Aku harus ikut tes TOEFL di ITB (tidak bisa di luar ITB) dan tes TPA (tes nya di Malang dan Bapakku mengantarku selepas subuh padahal sorenya aku ada tes ITP TOEFL di Unair, Alhamdulillah kedua nya terkejar walaupun butuh banyak pengorbanan pikiran dan tenaga haha). Untuk UI aku harus ikut tes SIMAK di UI, dimana aku merasa impossible bisa diterima S2 UI, kebetulan tes nya bulan April. Mencari kerja juga tidak gampang. Semua lowongan kerja di Job Fair yang diadakan oleh ITS, tidak ada yang menerimaku, satupun tidak ada. Bulan-bulan itu adalah bulan frustasi untukku. Aku lulus dengan predikat memuaskan dan 3,5 tahun tapi aku pengangguran. Pengumuman S2 belum muncul dan tidak ada perusahaan yang memanggilku untuk sekedar wawancara. Aku sadar, lulus cepat dan IP bagus bukan segalanya.
Setelah menunggu dan menunggu... Alhamdulillah panggilan itu datang dari 2 perusahaan besar di Indonesia. Karena tidak tahu mana yang akan menerima ku hingga tahap akhir, aku jalani semuanya degan rasa syukur dan harapan. Tak disangka, keduanya menerima ku di hari yang sama. Hanya saja, karena perusahaan kedua menelepon belakangan, aku tidak bisa mengingkari kata bersedia bekerja di perusahaan pertama. Awalnya aku merasa agak sedikit menyesal karena perusahaan kedua lebih besar, tapi semuanya terpatahkan ketika aku menyadari ada hikmah di balik itu semua. Aku bekerja di Jakarta dan bisa mengenal teman-teman yang luar biasa di perusahaan ini. Aku juga mendapatkan seorang atasan yang sangat baik dan mendukungku untuk menjadi pribadi yang maju.
Walaupun aku sudah bekerja, mimpiku tidak pupus. Aku tetap menunggu pengumuman S2 dan aku jujur kepada atasanku bahwa jika aku diterima S2, aku akan keluar dari pekerjaan atau bekerja sambil kuliah di Jakarta jika diterima di UI. Tiga bulan sudah aku menunggu, dan pengumuman itu datang. Syukur Alhamdulillah yang luar biasa besar kupersembahkan kepada Allah karena aku mendapatkan kesempatan diterima di NTUST Taiwan, India, UI, dan ITB. Kegundahan terbesar kedua adalah kampus mana yang mau kupilih. India dicoret karena Bapakku tidak mau aku bertemu monyet di tengah jalan (akibat melihat documentary tentang India di Discovery Channel haha). ITB dicoret karena UI diterima dan aku bisa kuliah sambil bekerja, terlebih kampus nya bukan di Depok tapi di Jakarta Selatan yang notabene dekat dengan lokasi kantor. NTUST Taiwan memberikanku beasiswa penuh dan uang bulanan, aku hanya perlu membayar uang sewa dorm dan asuransi kesehatan tiap semester. Jadi, pilihannya cuma dua Taiwan atau UI. Kembali ke keinginan utama, aku ingin kuliah di luar negeri. Resikonya aku harus keluar dari pekerjaanku yang masih seumur jagung ini dan keluar dari comfort zone ku, dan atas izin Allah aku memilih Taiwan.
Aku pergi dari Indonesia tanggal 9 September 2012 malam bersama beberapa orang kawan yang juga diterima di Taiwan menaiki pesawat Garuda Indonesia. Kehidupan ku di negeri orang dimulai. Tapi inilah tes sesungguhnya. Tes terhadap kemampuanku hidup sendiri di negeri orang tanpa orang tua dan saudara. Tes apakah aku mampu lulus S2 dengan baik. Tes siapakah teman baikku. Tes tentang kehidupan.
Aku belajar banyak di Taiwan. Tidak hanya tentang akademis, tapi juga kehidupan. Banyak yang bisa didapatkan di Taiwan dan tidak kudapatkan di Indonesia. Budaya yang berbeda membuatku sadar bahwa aku sungguh kecil. Aku bukan apa-apa di dunia ini dan inilah saatnya aku harus bisa berkarya dan menyampaikan pesan kehidupan yang aku dapatkan selama di Taiwan kepada semua orang di Indonesia (at least yang aku kenal seperti keluarga dan saudara).
Belajar bagaimana hidup disiplin dan tepat waktu. Hidup menghargai orang lain dan menaati peraturan. Tak hanya itu, aku juga belajar bagaimana berdakwah di negeri orang dengan kemampuan yang aku bisa lakukan bersama teman-teman Muslim seperjuangan. Pengalaman yang luar biasa indah. Di samping itu, di Taiwan pula aku bertemu seorang senior yang saat ini bisa menjadi suamiku.
Saat ini, aku menjalankan kuliah S3 di kampus yang sama di Taiwan. Ingin sebenarnya bisa meneruskan jenjang S3 ke negara lain, tapi karena suamiku bekerja di Taiwan pasca lulus S2, kami harus tetap di sini. Sempat ada rasa sedih. Tapi, aku tetap bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk bisa di luar negeri dan mendapatkan jenjang S3 berbeasiswa serta diberi pekerjaan oleh Allah dan hidup cukup. Aku yakin ada hikmah di balik ini semua, seperti sebelumnya.
Hidup adalah pilihan dan hidup adalah Bersyukur. Bagaimana kita bisa bersyukur atas karunia dan nikmat Allah yang diberikan kepada kita, terlepas dari semua kesedihan yang dirasakan.
Hidup itu ada naik dan turun. Ketika sedang naik dan di puncak, bagaimana caranya untuk bersyukur dan mengingat masih ada orang di bawah kita dan kita harus tetap rendah diri dan membantu orang lain. Ketika sedang turun, bukan untuk bersedih dan menyalahkan keadaan tapi tetap bersyukur bahwa masih diberi kesempatan hidup dan makan, serta bagaimana caranya menjadi lebih baik.
Dari runtutan kehidupan dan masa lalu ku hingga saat ini, bisa dikatakan tidak mudah. Ada banyak halangan dan rintangan untuk mencapai mimpi yang aku dan keluarga ku idam-idam kan. Ada banyak tangis dan kesedihan. Tapi, kami memiliki lebih banyak hal baik yang bisa disyukuri. Kami masih bersama, kami masih bisa hidup cukup, kami bisa sekolah, kami bisa tertawa, dan kami memiliki Allah, yang akan selalu membantu kami. Allah memberi ujian bukan karena tidak sayang, tapi justru sayang kepada kita dan ingin membuat kita menjadi pribadi yang kuat dan mau bersyukur atas segala karuniaNya.
Ibu Bapakku selalu mengajarkan satu hal penting, yaitu berucap Alhamdulillah dan Astaghfirullah dimanapun dan kapanpun. Dengan dua kalimat yang luar biasa ini, kami sekeluarga belajar untuk bersyukur dan memohon ampun kepada Allah, sehingga Allah memberi kami kehidupan yang cukup dan bermakna.
Semoga sedikit cerita tentang kehidupan pribadi ku ini, ada hikmah yang bisa didapatkan untuk kita semua.
Alhamdulillahirabbilalamin.
Astaghfirullahaladzim.
Jazakallahu Khairan.
Terima kasih sudah berbagi cerita mbak, sangat menginspirasi... :)
ReplyDeleteTerima kasih. Semoga membantu. :)
DeleteInspiratif ceritanya..
ReplyDeleteIntan keren...
Tapi ada termonologi yang kurang tepat tan... Yang benar itu "Rendah Hati", bukan Rendah Diri. hehe
Rendah Hati = Tawaddu'
Rendah DIri = Minder
Makasih mas adil ^^ mas juga keren kok. ^^
Deleteoh iya sih bener... makasih mas udah dibenerin. Udah aku edit di tulisannya. hehehe